Selasa, 20 Oktober 2009

cuma ingin diam....

sahabatku, usai tawa ini
izinkan aku bercerita :

telah lama ku mendaki
sesak udara di atas puncak khayalan
jangan sampai kau disana

telah jauh, ku terjatuh
pedihnya luka di dasar jurang kecewa
dan kini sampailah aku, disini...

yang cuma ingin diam, duduk di tempatku
menanti seorang yang biasa saja
segelas air di tangannya, kala kuterbaring...sakit
yang sudi dekat, mendekap tanganku
mencari teduhnya dalam mataku
dan berbisik " pandang aku, kau tak sendiri, oh dewiku... "
dan demi Tuhan, hanya itulah yang
itulah yang kuinginkan

telah lama kumenanti
satu malam yang sunyi untuk kuakhiri
dan usai tangis ini, aku kan berjanji...

untuk diam, duduk di tempatku
menanti seorang yang biasa saja
segelas air di tangannya, kala kuterbaring... sakit
menentang malam, tanpa bimbang lagi
demi satu dewi yang lelah bermimpi
dan berbisik " selamat tidur, tak perlu bermimpi bersamaku... "

wahai Tuhan, jangan bilang lagi itu terlalu tinggi


Aku duduk di pelataran masjid itu, ketika langit mulai terlukis indah dengan warna merahnya, ketika lampu-lampu mulai menyala. Aku duduk di pelataran masjid itu. Melihatmu melangkah dalam temaram, sungguh bukan langkah kaki aktor yang biasa kita lihat di televisi, yang tiap gerakan kakinya sudah tertata oleh sutradara yang mengawasi di balik kamera. Sungguh bukan itu. Langkah kaki itu, hanya langkah kaki biasa. langkah kakimu. Langkah kaki seorang lelaki yang kukasihi. Aku melihatmu. Aku mencoba merekam sebanyak mungkin gambaran yang bisa kurekan dari kehadiramu. Bagaimana dirimu, dengan langkah kaki biasa itu, makin lama makin mendekatiku. Dan air mata inipun mulai menggantung dalam kelopak mataku. Aku akan menahannya. Karena kutahu kau tak akan suka jika aku meneteskan air mata. Aku tersenyum. Mencoba menampilkan senyum terindah yang tak akan pernah kau lupakan sepanjang hidupmu. Aku masih merekam tiap gerakan tubuhmu. Aku merekam tiap garis pada wajahmu. Dan kau mendekat padaku, mendekap kepalaku di dadamu. Kuhirup sebanyak mungkin bau tubuhmu, kunikmati bunyi detak jantungmu sebanyak yang kubisa. Dan air mataku masih menggantung di pelupuk mataku. Aku masih tersenyum hingga kau duduk di sampingku. Dan air mata itu tak lagi bisa kubendung. Kupalingkan mukaku, lalu kuhapus air mata itu. Kau tidak tahu. Dan aku harap kau tidak pernah tahu. Bahwa menjelang malam itu aku begitu takut kehilanganmu…

Tidak ada komentar: